OPINI
Konsepnews.com – Pandemi Covid 19 belum berakhir tetapi agenda Nasional harus tetap berjalan, salah satunya Pemilihan Daerah secara serentak di berbagai daerah di Indonesia dimulai sejak bulan Agustus 2020 sd Desember 2020.
Pada Akhir bulan Oktober 2020, telah terjadi peristiwa dimana salah satu calon wakil walikota Tangerang Selatan merasa telah mendapatkan pelecehan seksual dari pihak-pihak tertentu.
Nur Setia Alam Prawiranegara, (Ketua Indonesian Feminist Lawyers Club/IFLC), memberikan tanggapan atas kejadian tersebut.
“Marilah bertindak cerdas dalam berpolitik jangan menjegal calon dengan cara yang tidak profesional, apalagi menyerang secara pribadi dengan cara misoginis atau melakukan pelecehan seksual terutama melalui media sosial karena hal tersebut tidak hanya melakukan perbuatan melawan hukum berupa pelecehan seksual akan tetapi termasuk juga pelanggaran UU ITE dengan mendistribusikan secara sengaja kepada pihak publik”.
Selanjutnya, politik itu seperti mata uang antara seni dan kekuasaan. Politik adalah proses untuk menggapai suatu kekuasaan bagi yang ingin menjadi pemimpin di suatu wilayah tertentu.
Tetapi untuk memperolehnya membutuhkan seni agar terlihat apik dan menarik baik bagi para pemilih maupun lawannya, akan tetapi untuk sampai kepada tujuan kekuasaan politik tersebut prosesnya harus dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku sehingga bisa tetap menjadi penggunaan kekuasaan yang konstitusional dan bermartabat.
“Bahwa kami, Indonesian Feminist Lawyers Club/IFLC sangat menginginkan adanya Pimpinan Daerah itu Perempuan, karena sebagai aset besar milik bangsa yang harus didorong maju, bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitasnya, dengan tujuan mengusung adanya kesetaraan gender, oleh karena itu sudah saatnya perempuan berpartisipasi aktif membangun bangsa dan negara melalui jalur politik”.
Mengapa demikian? Karena sebagai pemimpin dapat menyampaikan aspirasi serta kepentingan perempuan yang selama ini dianggap kurang penerapan dan pelaksanaannya, apalagi saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tertunda untuk menjadi UU dengan dinyatakan sulit untuk dibahas.
Hal ini dapat dilihat bagaimana RUU P-KS ini sulit, faktanya ada yang tidak memahami atas perbuatannya diduga telah melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu calon Pimpinan daerah dengan cara “Misogini” melalui media sosial.
Misogini adalah suatu cara berupa kebencian atau tidak suka terhadap perempuan diwujudkan dengan diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan serta “Pelecehan Seksual” bahkan melalui media sosial, serta menyebarkan photo milik pribadi dan menuliskan kalimat berupa ujaran kebencian agar dibaca oleh publik.
Bahwa apa yang dilakukan oleh Calon Wakil Walikota Tangsel adalah benar, karena untuk menegakkan kebenaran, bukan semata-mata untuk melakukan pembelaan kampanye karena dia sebagai calon, akan tetapi dia menyadari sebagai aktivis perempuan atas perbuatan seperti ini tidak hanya akan terjadi saat kampanye tapi dalam kehidupan di masyarakat, sebagaimana sering diulas oleh Komnas Perempuan bagaimana tingkat kekerasan seksual dan pelecehan seksual terus meningkat tiap tahunnya.
Foto merupakan suatu hasil dari kekayaan intelektual dan ekspresi personal berupa citra terhadap suatu objek yang bernilai seni, membidik suatu objek gambar bukan tanpa batasan.
Pemberitaan dan penggunaan foto pun oleh pihak tertentu tidak boleh dilakukan secara sembarangan, karena terdapat hak cipta yang dimiliki oleh si pemilik foto dan foto yang hendak digunakan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh hukum, maka jika tetap dilakukan diduga telah melanggar antara lain:
- Pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE:
“Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.” - Pasal 27 jo. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE:
“ Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”
Oleh:
Nur Setia Alam Prawiranegara SH MKn
(Ketua Indonesian Feminist Lawyers Club/IFLC)