Konsepnews.com, Jakarta – Komunitas Jurnalis Sinema Indonesia (KJSI), baru-baru ini, sukses menggelar talkshow episode ke-16 bertema “Mana Lebih Horor? Rumah Berhantu atau Hutan Angker?”, di Jakarta. Giat ini digelar oleh KJSI dalam rangkaian program bertajuk Jakarta Horror Screen Festival 2020.
Pada episode pamungkas yang terakhir kalinya selama 2020 ini bekerjasama dengan studio Zonmer dan konten kreatif Puisi Pagi, Creative Director Jakarta Horror Screen Festival 2020, Teguh Yuswanto, dengan mendaulat dua tamu istimewa sebagai narasumber. Yakni Maya Yuniar, bintang film dan sinetron, serta Shandy Gasella, kritikus film dan reviewers film.
Dalam kesempatan tersebut, talkshow menyuguhkan bahasan mengenai sebuah film horor yang mengambil set lokasi seperti rumah dan hutan, yang tentunya punya daya tarik sendiri. Keduanya punya kekuatan berbeda, bila cerita yang dikemas menarik untuk membangun atmosfirnya.
Sebut saja semisal film “The Others”, yang mengambil tema set rumah tua besar di masa Perang Dunia II karya Alejandro Amenabar yang dibintangi Nicole Kidman, dengan formula plot-plot twist dan taste horornya, menjadi fenomenal pada 19 tahun lalu.
Lalu ada “Cabin in the Woods” (2011) yang mengisahkan sebuah kabin angker yang terletak di hutan belantara yang juga angker dan mengerikan, ada juga “The Forest” (2016) yang menceritakan misteri horor hutan Aokigahara, Jepang dan juga “The Ritual” (2017).
Sekedar catatan, “The Conjuring” milik James Wan juga ikut andil menggunakan rumah dengan formula horor dan teror iblisnya.
Dua judul tadi hanya sebuah referensi ringan saja dalam genre horor yang menggunakan rumah dan hutan sebagai formulanya untuk menakuti dan membuat kengerian bagi penontonnya.
“Menurut saya sih kalau ngomongin set film horor dengan lokasi rumah atau hutan, keduanya bisa sama-sama menakutkan ” ujar Shandy Gasella.
“Atau malah keduanya bisa sama-sama nggak menakutkan, tergantung cerita. Misalnya nih kita mesti simpati dulu dengan karakter protagonisnya, siapa dia sejak awal cerita sebaiknya dijelaskan juga, lalu konfilknya tuh apa?” kata Shandy.
“Kenapa kita ikut merasa khawatir terhadap karakter tersebut. Nah kalau itu nggak dibangun ya menurut saya sih nggak ada bedanya mau terornya ada di rumah atau di hutan,” lanjutnya.
Namun sebenarnya, masih menurut Shandy, sejauh mana setting atau latar belakang itu menjadi vital bagi film horor tersebut. Jika penggarapannya bagus, maka filmnya pun akan sangat menarik.
Setidaknya film horor juga punya peran penting menjaga stabilitas emosional penontonnya.
Sementara itu, aktris Maya Yuniar menagatakan pengalamannya main dalam film horor “Kuntilanak Cilwung” (Produksi Malaysia dan Indonesia). Film tersebut juga menggunakan set rumah untuk memperbanyak scene teror.
“Saat itu aku berperan jadi kutilanak, scene aku banyak menteror para penghuni rumah. Tapi aku juga ada scene di sungai Ciliwung,” ceritanya.
Namun ada yang unik dari kegiatan shooting yang dialaminya, saat di pertengahan shooting mau ambil adegan malah ada peristiwa ganjil.
“Saat aku mau take tiba-tiba lampu mati sampai berulang sepuluh kali. Terus ada warga di sana yang kebetulan faham dengan wilayah tersebut, kasih tahu ke kita, untuk disiapkan kopi pahit dan rokok kretek buat ‘penunggunya’. Begitu katanya,” papar bintang film “Kuntilanak Ciliwung” dan “Mangga Muda” itu.
Peristiwa seperti ini sering kita dengar saat pembuatan atau melakukan pengambilan gambar di lokasi yang ternyata memang penuh gangguan makhluk tak kasat mata.
Kembali lagi, bagaimana kita memutuskan, Mana Lebih Horor? Rumah Hantu atau Hutan Angker. Sebab film hanya tinggal bagaimana cerita tersebut punya kekuatan penuh untuk menyampaikan premisnya.
Jika developing cerita yang digarap sangat maksimal dan menarik maka bisa kita anggap baik, dengan latar belakang cerita hutan angker ataupun rumah berhantu. Artinya, film tersebut sukses menghibur penontonnya.
Karena penonton akan sangat terhibur jika film horor itu betul-betul klimaks dengan misinya membuat ketakutan, kengerian, kegaduhan dan plot cerita yang masih kompromi dengan akal sehat meski sedkit.
Perhelatan Jakarta Horror Screen Festival (JHSF) 2020 ini digelar sejak awal pandemi, Februari 2020. Kini telah mengakhiri masa serunya lewat rangkaian obrolan semi talkshow sebanyak total 17 episode keseluruhan.
Episode #16 telah menjadi pemungkas dari kegiatan intelektual yang digagas Kumpulan Jurnalis Sinema Indonesia (KJSI).
KJSI pun berharap, jika kelak tahun depan situasi telah normal, maka Jakarta Horror Screen Festival 2020 tentu akan lebih maksimal lagi dibuat karyanya. Ini demi memberikan penghormatan kepada seluruh insan film Indonesia. yz