Oleh: Dr. Taufan Hunneman
Ketua Forum Bersama Bhinneka Tunggal Ika dan Dosen UCIC Cirebon
KONSEPNEWS – Demokrasi Pancasila merupakan sistem pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai tersebut meliputi Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Globalisasi dan perkembangan teknologi telah membawa dampak besar pada kehidupan masyarakat.
Banyaknya ideologi alternatif melalui media informasi telah membuat masyarakat mengalami penurunan intensitas pembelajaran Pancasila dan kurangnya efektivitas serta daya tarik pembelajaran Pancasila.
Oleh karena itu, perlu adanya kewaspadaan nasional terhadap ideologi baru dan penanaman nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda.
Salah satu ideologi yang masuk ke Indonesia dan mengubah wajah demokrasi Pancasila adalah Demokrasi Liberal.
Dalam Demokrasi Liberal, keputusan politik dibuat melalui pemilihan umum yang bebas dan adil di mana setiap warga negara memiliki hak suara yang sama.
Dalam konteks ini, tak ada yang salah dengan ekspresi kebebasan dan keadilan, dimana setiap warga negara memiliki hal yang sama dalam memilih pemimpinnya.
Namun, berubahnya pendulum politik Indonesia dari Demokrasi Pancasila menuju Demokrasi Liberal mengubah dinamika politik dalam negeri, khususnya pasca reformasi.
Salah satu yang paling kentara adalah berubahnya sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia dari sistem musyawarah untuk mufakat, menjadi pemilihan langsung.
Praktik ini sudah berjalan selama dua dekade. Pemilihan kepala daerah langsung pertama kali dilakukan pada 2005.
Masyarakat mendapatkan pengalaman baru memilih calon pemimpinnya secara langsung.
Awalnya, banyak pihak yang menilai ini adalah model pemilihan kepala daerah yang ideal.
Namun tak banyak yang menyadari kalau model pemilihan seperti ini bercorak liberal dan menyimpang dari nilai-nilai Demokrasi Pancasila.
Dalam Demokrasi Pancasila kita mengenal konsep musyawarah mufakat, sebagaimana yang tertuang dalam sila ke-4 Pancasila.
Semangat itu harus diimplemantasikan dalam semua lini kehidupan rakyat Indonesia, termasuk memilih kepala daerah.
Sistem tersebut telah berjalan sebelum reformasi, dimana kepala daerah dipilih melalui perwakilan masyarakat di DPRD melalui mekanisme musyawarah.
Selama itu dilakukan, pergantian pucuk pimpinan di daerah selalu berjalan mulus dan tanpa adanya masalah.
Kondisi berbeda terjadi ketika mekanisme pemilihan kepada daerah diubah menjadi pemilihan langsung.
Ongkos politik membengkak, masyarakat jadi terkotak-kotak karena pilihan politiknya.
Belum lagi potensi gesekan di masyarakat akibat perbedaan pilihan politik, terlebih jika sudah dibumbui dengan SARA.
Sukses kepala daerah malah menjadi ajang untuk memecahbelah masyarakat.
Hal ini lantas rentan dan sangat rawan dimanfaatkan oleh pihak luar (proxy) untuk memecahbelah bangsa.
Tentu hal itu sangat berbahaya dan tidak setimpal dengan ongkos politik yang telah dikeluarkan.
Hal tersebut di atas, mekanisme pemilihan umum secara langsung tak sepenuhnya menampung aspirasi sejumlah kalangan masyarakat, seperti buruh, tani dan nelayan.
Hingga kini kita tidak menemukan adanya perwakilan kelompok buruh, tani dan nelayan yang signifikan di parlemen.
Karena itulah, selain keterpilihan melalui suara, demokrasi juga harus memberi ruang pada keterwakilan, diantaranya kalangan buruh, tani dan nelayan.
Dengan adanya keterwakilan tersebut, maka parlemen turut memikirkan nasib kelompok masyarakat yang spesifik melalui beragam regulasi dan kepentingan.
Keterwakilan itu juga memiliki sisi positif lainnya, yakni mencegah terjadinya gesekan atau bahkan chaos di ruang publik.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam Demokrasi Pancasila, khususnya soal keterwakilan, adalah harus adanya ruang keterwakilan untuk kalangan TNI dan Polri di parlemen.
Sebab, sejak era reformasi, dua institusi tersebut tidak memiliki hak politik apapun, baik itu memilih atau dipilih.
Namun tak bisa dipungkiri, kita masih memerlukan kebijakan regulasi yang terkait dengan pertahanan, keamanan, alutsista dan yang sejenisnya.
Sehingga, putusan dan regulasi serta kebijakan juga sesuai dengan kepentingan kelompok.
Tak hanya kalangan buruh, tani nelayan dan TNI Polri, Demokrasi Pancasila juga dapat memayungi kepentingan sosial politik lainnya dalam parlemen, diantaranya para raja-raja Nusantara.
Sebagaimana kita tahu, raja-raja Nusantara sudah ada sejak Indonesia belm merdeka.
Dan dalam rangka untuk mendukung Indonesia, mereka telah meleppaskan kedaulatannya hanya untuk bergabung dengan NKRI.
Karena itulah, kami mendukung wacana yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.
Mekanisme itu sudah dipastikan sejalan dengan Demokrasi Pancasila, tepatnya sila ke-4 yang menggaungkan semangat musyawarah mufakat.
Selain itu, pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan lebih aman, tak ada gesekan di akar rumput, tak ada isu SARA yang memecahbelah.
Sangat realistis jika kita kini memilih untuk kembali ke Demokrasi Pancasila dalam segala hal, termasuk memilih pemimpin di daerah. ***