Konsepnews.com, Jakarta – Pandemi menyerang berbagai lini kehidupan manusia di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali petani ulat sutra di Pasuruan. Mereka membudidayakan Samia cynthia ricini (Lepidoptera: Saturniidae) atau yang juga dikenal dengan ulat sutra eri.
Serangga penghasil serat sutra komersial ini telah banyak didomestikasi untuk diperdagangkan.
Ada keunikan, biasanya sebelum ulat sutra atau yang dikenal dengan bombyx mori saat dewasa matang dan keluar dari kepompongnya, kepompong tersebut kemudian direbus.
Perebusan ini bertujuan untuk membunuh ulat sutra dan memudahkan penguraian seratnya. Mengapa demikian, karena ulat masih betah tinggal di dalam dan keluar dengan sendirinya umumnya mengigit kepompong hingga rusak sehingga benang yang dihasilkan tidak bernilai ekonomi.
Namun petani ulat sutra di Pasuruan ini ingin mempertahankan pupa ulat sutra tetap hidup. Dikeluarkan secara manual, dan tidak direbus untuk membunuhnya. Ulat-ulat bisa tetap hidup dewasa dan bermetamorfosis.
Kebiasaan mereka melakukan budidaya ulat sutra tanpa membunuh pupa kemudian dikenal dengan istilah peace silk. Mereka mempertahankan pupa sehingga masih bisa bermetamorfosis menjadi ngengat sutra sepekan kemudian.
Bagi petani, untuk menghasilkan serat sutra yang sesuai dengan standar mesin pintal fabrikasi maka diperlukan serat yang bersih, putih dan hal ini hanya bisa dicapai dengan proses budidaya yang baik, sehingga menghasilkan kepompong sutra yang sehat, putih, bersih, dan besar.
Di Pasuruan dan Malang, sejak pandemi, jumlah petani ulat sutra semakin berkurang. Kini hanya tinggal 20 orang saja yang aktif. Berangkat dari keprihatinan ini, KaIND, Tencel, dan BenihBaik.com berkolaborasi untuk membantu pemberdayaan petani ulat sutra dan membantu produksi benang kombinasi serat tencel dengan merek dagang dan sutra eri.
“Tahun 2019, kami telah bekerja sama dengan sekitar 250 petani sutra eri di wilayah Malang, Pasuruan, Mojokerto,Tumpang dan sekitarnya. Namun kondisi yang tidak memungkinkan dan adanya pandemi membuat penurunan jumlah petani ulat sutra sampai sekarang hanya tinggal 20 orang saja yang masih aktif,” kata Melie Indarto, pendiri KaIND sekaligus fesyen desainer.
Menurutnya dukungan terhadap pemberdayaan petani sutra eri ini demi memajukan ekonomi lokal, menghidupkan kembali ekosistem sutra eri yang terdampak pandemi Covid-19, dan menginspirasi pelaku bisnis serta komunitas khususnya di industri fesyen untuk turut berkontribusi dalam menciptakan ekosistem fesyen berkelanjutan.
Saat ini, KaIND tengah berkolaborasi dengan BenihBaik.com, menggalang dana untuk upaya pelestarian ulat sutra dengan kampanye berjudul Berdayakan Petani Ulat Sutra Kita Bersama KaIND dan TENCEL.
“Kita semua tentu ingin bisa menghidupkan kembali pendampingan dan pemberdayaan terhadap petani ulat sutra eri sehingga kebutuhan serat sutra bisa terpenuhi dan produksi benang sutra pun bisa terus dilakukan,” ujarnya.
Aktivis brand lokal, Arto Biantoro mengapresiasi KaIND ini karena menurutnya mereka adalah pembangun brand lokal dari Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur yang sangat orisinal.
“Mereka membangun dengan pendekatan brand yang kekinian dalam arti bisa melakukannya dengan pendekatan sociopreneurship. Dengan kepedulian tetapi bisa menyambungkan ekosistem yang terputus. Ini juga menjadi jawaban atas bisnis yang regional atau industri nasional, dan tentu saja kita harus mendukung KaIND untuk menyelamatkan eskosistem,” kata Arto.
Dia menambahkan sangat penting mendukung brand lokal yang bagus dalam konteks diferensiasi.
“Ketika kita membicarakan brand, maka kita bicara tentang diferensiasi. KaIND ini salah satunya yang dibangun dari lokalitas yang ada di sekitarnya. Lokalitas ini yang menjadi pembeda dari produk yang dihasilkan lainnya. Lokalitas dan diferensiasi ini menjadi sumber daya di sekitar kita dan tidak dimiliki orang lain,” tukasnya. yz